Jauh sebelum pesawat ditemukan, sudah berabad-abad manusia membayangkan bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain melalui udara, sebagaimana diabadikan oleh narasi mitologi kuno, agama, dan cerita rakyat. Namun, selama berabad-abad pula terbang tampak mustahil.
Dalam perjalanannya, kemustahilan itu pelan-pelan dimentahkan. Pada abad ke-9, Abbas Ibnu Firnas membikin glider sederhana menyerupai sayap burung dari kayu. Pada abad ke-15, Leonardo Da Vinci menggambar desain alat yang dapat meluncur di udara. Pada awal abad ke-20, Orville dan Wilbur Wright menerbangkan sebuah pesawat bermesin sejauh empat mil. Sejak temuan Wright bersaudara, manusia yang terbang bukan lagi sebuah mitos.
Model pesawat Wright Bersaudara berjenis pesawat bersayap ganda atau biplane. Dilansir dari blog The University of Melbourne, sayap pada pesawat tersebut melengkung dan mampu mendorong udara ke bawah sehingga menghasilkan gaya reaksi dari udara untuk mendorong sayap ke atas dalam magnitudo yang sama. Prinsip kerja ini sejalan dengan hukum gerak ketiga yang dicetuskan Isaac Newton pada 1665. Temuan pesawat bermesin itu mengawali tonggak sejarah baru dunia kedirgantaraan.
Faktor Pendukung
Lebih dari seratus tahun berlalu sejak penerbangan perdana Wright Bersaudara, pesawat modern tetap membutuhkan dua hal yang tidak berubah: dorongan dan daya angkat.
Dorongan adalah gerak maju yang disokong kinerja baling-baling atau mesin jet. Letak mesin bervariasi, tergantung dari jenis pesawat. Ada yang berada di bawah sayap, misalnya di banyak pesawat komersial, atau di belakang seperti jenis pesawat tempur F-16.
Daya angkat membikin pesawat terangkat meninggalkan daratan. Sebagian besar daya angkat pesawat dihasilkan lewat sayap. Besarnya daya angkat pesawat tergantung pada beberapa faktor, yakni bentuk, ukuran, dan kecepatan pesawat. Setiap bagian tubuh pesawat memberikan kontribusi pada gaya angkat pesawat.
Daya angkat pesawat berkaitan dengan prinsip Bernoulli dalam ilmu fisika. Semakin cepat gas (dalam hal ini adalah udara) bergerak, maka semakin rendah pula tekanan yang diberikan. Ini terjadi di sekitar sayap pesawat. Tekanan terhadap tepi atas sayap jauh lebih rendah dibanding tekanan di tepi bawah sayap dan menyebabkan pesawat bisa menggantung di angkasa.
Bobot pesawat modern jauh lebih berat dari pesawat era Wright Bersaudara. Bobot pesawat komersil keluaran Boeing, misalnya, bisa mencapai 78 ton. Meski bobotnya bisa mencapai ribuan kilogram, pesawat tetap mampu naik ke atas karena daya dorong dan angkatnya lebih besar serta menyesuaikan bobot pesawat.
Selain daya dorong dan daya angkat, ada beberapa gaya lainnya yang mengiringi sebuah pesawat terbang di angkasa. Dilansir dari NASA, ketika pesawat terbang melaju, ada gaya hambat udara yang arahnya berlawanan dengan gaya dorong.
Benda yang diam gaya hambat udaranya nol. Tetapi, ketika benda mulai bergerak, gaya hambat udara mulai muncul yang arahnya berlawanan dari gerak benda yang dalam hal ini adalah pesawat. Semakin cepat pesawat bergerak, semakin besar gaya hambat udara. Untuk mengurangi gaya hambat agar tidak membebani kerja mesin yang sedang mendorong adalah dengan menciptakan desain yang aerodinamis.
Kemudian ada gaya berat pesawat. Berat adalah kekuatan yang selalu diarahkan ke pusat bumi. Gaya berat adalah kombinasi berat muatan pesawat, awak pesawat, bahan bakar dan isi bagasi. Gaya berat menarik pesawat ke bawah sesuai dengan gaya gravitasi, sehingga gaya berat melawan gaya angkat.
Selama penerbangan, berat pesawat bisa berubah seiring dengan berkurangnya bahan bakar di tangki. Distribusi berat dan pusat gravitasi tentu ikut berubah.
Dari elemen dorong, angkat, hambatan dan berat inilah sebuah pesawat mampu terbang secara sempurna menciptakan keseimbangan. Bahkan jika mesin berhenti bekerja sekalipun, meski sangat jarang terjadi, pesawat masih mampu meluncur.
Untuk mengendalikan agar pesawat bisa bermanuver ke kiri dan kanan, atas dan bawah, ada tiga instrumen yang dipakai pilot selaku pengemudi pesawat. Bilah aileron yang ada di kedua ujung sayap utama digunakan untuk memutar pesawat bergerak ke kiri atau ke kanan.
Bagian ekor pesawat yang disebut rudder juga digerakkan sesuai dengan aileron guna menunjang pergerakan pesawat ke kiri dan ke kanan.
Selanjutnya, ada bilah elevator di bagian sayap belakang yang berfungsi mengontrol naik-turunnya pesawat. Menurunkan elevator berarti membuat pesawat condong ke bawah dan memungkinkan pesawat turun. Sebaliknya, menaikkan elevator membuat pesawat mengarah ke atas.
Semakin Tinggi Semakin Bagus?
Secara bertahap, pesawat terus mengalami peningkatan ketinggian sejak lepas landas. Ketinggian penerbangan yang aman umumnya disepakati berada di 35.000 kaki atau 10,5 kilometer.
Semakin tinggi, udara makin makin tipis sehingga memungkinkan pesawat mampu bergerak lebih cepat. Bahan bakar pun lebih irit karena pesawat tak membutuhkan tenaga dorong besar untuk melawan hambatan udara.
Dilansir dari The Telegraph, titik terbang terbaik ada di ketinggian 35.000 sampai 42.000 kaki, atau 12,5 kilometer. Ketinggian ideal ini terkait dengan bobot pesawat yang terbang. Biasanya, pesawat dengan bobot yang tinggi akan terbang lebih rendah, dan pesawat yang ringan akan terbang lebih tinggi.
“Setiap pesawat memiliki ketinggian optimal (untuk biaya minimum atau pembakaran bahan bakar minimum) yang akan didasarkan pada bobotnya,” jelas Peter Terry, pilot maskapai penerbangan komersial yang berpengalaman terbang selama 30 tahun.
Terbang di ketinggian ribuan kaki juga bisa berarti menghindari cuaca buruk. Ini karena Troposfer, lapisan atmosfer yang paling dekat dengan tanah, adalah rumah bagi sebagian besar terbentuknya fenomena cuaca. Pesawat memilih terbang di zona lapisan Stratosfer yang gangguan cuacanya lebih sedikit.
Lantas, bisakah pesawat terbang dengan ketinggian minimum alias rendah? Bisa saja, tetapi ada hukum yang mengatur soal batas terendah yang aman untuk dilalui pesawat terbang. Pesawat dilarang terbang menjelajah dengan ketinggian di bawah 1.000 kaki. Aturan ini telah disepakati oleh badan penerbangan di seluruh dunia.
Pasalnya, kebisingan mesin pesawat akan terdengar lebih keras jika pesawat terbang di ketinggian rendah. pada ketinggian minimum, pesawat juga rentan menabrak bangunan-bangunan tinggi seperti menara dan gedung pencakar langit hingga gunung.
Abbas Ibnu Firnas: Pionir Penerbangan dari Andalusia
Dia ahli dalam sejumlah bidang sains, musik, dan puisi. Ia dikenal sebagai pionir penciptaan parasut dan pesawat glider. Kini namanya abadi dalam sejarah.
Terbang setidaknya sudah jadi mimpi manusia sejak zaman Yunani Kuno.
Dalam mitologi Yunani, ada kisah tentang Ikarus putra Daedalus yang berhasil lepas landas dengan sayap rakitan sederhana (berbahan bulu dan lilin) tetapi akhirnya nyungsep ke laut karena ia terbang terlalu dekat dengan matahari sehingga lilin sayapnya mencair.
Jauh setelah peradaban Yunani sepi, impian untuk terbang itu tak pudar. Salah satu orang yang berupaya mewujudkannya ialah Abbas Ibnu Firnas. Ia hidup pada abad ke-9, enam ratus tahun lebih dulu ketimbang Leonardo Da Vinci (abad ke-15), jenius yang juga ingin terbang. Karena orang tak dapat memilih waktu kelahirannya, tak perlu heran jika Abbas mendahului Da Vinci dalam bidang kedirgantaraan.
Menurut John Hill dalam Andalucia: A Cultural History (2008), Abbas diperkirakan lahir pada tahun 810 di Izn-Rand Onda, Andalusia. Semasa hidupnya, ia dilingkupi kemeriahan peradaban Islam di negeri tersebut. Abbas tumbuh sebagai penyair sekaligus ahli matematika, fisika, kimia, dan teknik.
Abbas pernah membuat jam air yang dinamai Al-Maqata dan kaca berbahan pasir. Menurut Ana Ruiz dalam Vibrant Andalusia: The Spice of Life in Southern Spain (2007), “Ia juga membuat kompilasi tabel gerak planet. Ia begitu kreatif dan serbabisa. Abbas punya reputasi sebagai seorang yang eksentrik dengan bermacam minat dan penemuan.”
Dalam kiprahnya yang luas di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Abbas punya satu sumbangan cemerlang yang diakui secara luas, termasuk oleh dunia Barat.
“Pada tahun 852, ia melompat dari menara masjid dengan jubah besar. Beberapa orang menganggapnya sebagai parasut pertama,” tulis John Hill. Menurut tulisan Steve Pitt, dalam Day of the Flying Fox: The True Story of World War II Pilot Charley Fox (2008), percobaan gila itu membuat Abbas bonyok di sana-sini, tetapi nyawanya selamat.
Abbas tidak puas. Ia kemudian membuat “mesin” terbang sederhana berupa sayap berangka kayu: sebuah glider. Alat itu ia ciptakan berdasarkan pengamatannya terhadap burung-burung.
“Pada tahun 875, ketika berumur 65 tahun, Abbas lepas landas dari sebuah bukit kecil dekat Kordoba dengan mengendalikan secara sederhana glider bersayap yang melayang beberapa ratus meter sebelum berbalik ke tempat peluncurannya untuk mendarat, di mana kemudian ia terjungkal,” tulis John Hill.
Abbas sadar bahwa ia telah melupakan satu urusan penting: burung terbang tak hanya menggunakan sayap, tetapi juga ekor. Maka, ia melengkapi glider-nya dengan ekor. Rupanya, penambahan itu memudahkan Abbas mengendalikan glider sekaligus melakukan pendaratan. Ia juga memperbaiki bentuk parasutnya sehingga alat itu mengurangi kecepatan jatuh pemakainya secara signifikan.
Kisah Abbas yang mencoba terbang itu direkam sejarah, lalu menyebar jauh ke masa-masa berikutnya, termasuk Eropa abad pertengahan.
Besar kemungkinan, Abbas menginspirasi ahli penerbangan Inggris pada abad ke-11, Eilmer of Malmmesbury. Demikianlah ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, setiap temuan mengandung temuan-temuan sebelumnya, baik yang berhasil maupun yang gagal.
Beberapa abad setelah Da Vinci, pada permulaan abad ke-20, Wright bersaudara berhasil menerbangkan pesawat mereka yang lebih sempurna daripada mesin-mesin terbang era sebelumnya. Parasut juga menjadi semakin canggih.
Pada Perang Dunia II di Eropa, parasut-parasut—yang pada mulanya cuma satu pikiran gila dalam kepala Abbas Ibnu Firnas—mengantarkan pasukan penerjun ke garis belakang pertahanan lawan. Baik pihak Sekutu maupun Poros memanfaatkannya. Sedangkan glider pada masa itu bahkan telah sanggup mengantar orang menyebrangi lautan, dari Inggris ke daratan Eropa.
Abbas Ibnu Firnas meninggal dunia pada tahun 887. Ia melalui usia tuanya dalam keadaan menderita sakit punggung. Karena percobaan-percobaannya, ia cedera selama 12 tahun.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara di kota Baqdad, Iraq: Ibn Firnas Airport. Di sana, ada patung dirinya yang mengenakan sayap. Ia juga diabadikan sebagai nama kawah di bulan oleh lembaga antariksa Amerika, National Aeronautics and Space Administration (NASA), dengan nama Armen Firman.
Mengangkasa Bersama Boeing, 15 Juli 1916
Obsesi manusia untuk terbang terbentang sejak dahulu kala dan terekam dalam lagu, cerita rakyat, dongeng, hingga mitologi. Mitologi jadul bangsa Samara contohnya. Dalam kisah itu, Vuma, manusia Samara yang sakti nan perkasa, dikisahkan bisa terbang seperti burung. “Dia mengikat pinggangnya, dia terbang, ‘vauu pii’,” dengan mengepakkan sayap seperti yang dimiliki beo, demikian menurut mitologi itu.
Orang Guiana pun punya cerita serupa. Penduduk asli Amerika Selatan itu percaya sesepuh Afrika hanya perlu menempatkan diri mereka ke labu kosong (gobi), menutupnya, dan membuat mereka terbang kembali ke kampung halamannya di Afrika.
Lalu lahirlah Leonardo da Vinci yang membuat obsesi manusia untuk terbang kian saintifik. Pada abad ke-15, da Vinci merancang “ornithopter,” sebuah mesin terbang yang menurut penuturannya terinspirasi dari kelelawar, burung, dan layang-layang. Pada abad ke-19, kemunculan balon terbang raksasa Zeppelin membuat obsesi manusia itu, menjadi nyata.
Dalam sebuah tulisan di The Atlantic, kini manusia bisa “terbang” berkat jasa Wright bersaudara, Donald Douglas Sr., James H. “Dutch” Kindelberger, James S. McDonnell, dan William E. Boeing.
Nama terakhir, yang merasakan terbang untuk pertama kalinya pada 1914, adalah pendiri Boeing, perusahaan produsen pesawat komersial.
William Edward Boeing, anak dari ibu keturunan Austria dan ayah keturunan Jerman, lahir pada 1 Oktober 1881. Di usianya yang ke-8, Boeing kehilangan sosok ayah. Sang bunda mengirim Boeing kecil ke sebuah sekolah berasrama di Swiss, yang menurut Alain Pelletier dalam bukunya berjudul Boeing: The Complete Story, sangat ketat dan memiliki kurikulum serius. Sekembalinya dari Swiss, Boeing berkuliah di Sheffield Scientific School, Yale University. Setelah lulus, Boeing muda bekerja di industri perkayuan.
Masih menurut Pelletier, selepas mengumpulkan cukup uang, Boeing mencari kerja di “sesuatu yang besar.” Pada Januari 1910, pencarian itu dimulai kala ia menyaksikan American Air Show, pertunjukan pesawat yang diadakan di Los Angeles, Amerika Serikat. Di American Air Show, Boeing muda berkenalan dengan seorang pilot bernama Louis Paulham. Lantas, hampir empat tahun berselang, tepatnya pada 4 Juli 1914, Paulham mengajak Boeing muda terbang untuk pertama kalinya.
Selepas melakukan penerbangan perdana itu, Boeing mengatakan: “Pesawat ini tak bagus-bagus amat. Kupikir, kita bisa membuat yang jauh lebih hebat.” Dalam bukunya, Pelletier lantas mengatakan bahwa di titik itulah “perjalanan luar biasa Boeing dimulai.”
Dipercaya Kantor Pos
Pada 15 Juli 1916, tepat 102 tahun yang lalu, Boeing mendirikan Pacific Aero Products Co, yang kelak berganti nama menjadi Boeing Airplane Co. Berlokasi di galangan kapal di Seattle yang dibeli Boeing pada 10 Maret 1910 dari penguasa Amerika bernama Ed Heath, Boeing menciptakan pesawat pertamanya: Model C.
Dalam laman resmi Boeing, Model C yang diperkenalkan pada 1917 itu disebut-sebut sebagai pesawat yang seluruhnya dirancang oleh Boeing “yang pertama sukses secara finansial”. Secara keseluruhan, Boeing menciptakan 56 unit Model C, yang 51 di antaranya, dibeli Angkatan Laut Amerika Serikat. Pasukan tempur itu menggunakan Boeing Model C untuk bertempur di Perang Dunia I.
Pada 1919, Boeing mengembangkan sayapnya. Selepas menciptakan pesawat bagi dunia militer, mereka membikin B-1, pesawat komersial pertama dan digunakan untuk membawa surat-surat pos dari Seattle ke Kanada. Kemudian pada 1927, Boeing mengembangkan lebih jauh pesawat pos itu. Mereka menciptakan Model 40A yang benar-benar “dirancang bagi pengiriman surat.” Atas rancangan khusus inilah Kantor Pos Amerika Serikat memberikan kontrak eksklusif kepada Boeing untuk mengirim surat dari San Francisco ke Chicago.
Pada 1931, gabungan Boeing Air Transport (anak usaha Boeing), National Air Transport, Varney Airline, dan Pacific Air Transport bergabung untuk membentuk maskapai bernama United Airlines. Praktis, di dunia maskapai, United Airlines hanya bersaing dengan American Airlines. Sayangnya, persaingan kedua maskapai tersebut terasa hambar. Terutama karena pesawat yang mendukung kedua maskapai bersaing biasa-biasa saja. Dari ujung ke ujung Amerika Serikat, kedua maskapai sama-sama butuh waktu lebih dari 24 jam.
Presiden American Airlines C. R. Smith lantas membuat keputusan revolusioner. Ia meminta Douglas menciptakan pesawat yang mampu membawa para penumpang bepergian dari ujung ke ujung Amerika Serikat dalam tempo semalam. Pada 1936, lahirlah Douglas DC-3, pesawat yang dipesan Smith. Bermesin fixed-wing propeller driven, DC-3 sanggup menempuh jarak hingga 2.300 kilometer dan berkecepatan hingga 333 kilometer per jam. CNN menyebutkan bahwa DC-3 adalah “ikon” dan “sukses merevolusi industri perjalanan udara, meskipun hanya sanggup mengangkut 21 penumpang”.
Boeng tak tinggal diam menyaksikan kelahiran DC-3. Mereka harus merilis pesawat yang lebih cepat dan mampu menampung lebih banyak memuat penumpang. Pesawat bermesin jet adalah jawabannya.
Pada 1947, Boeing sesungguhnya telah memiliki pesawat bermesin jet, yaitu B-47 Bomber. Dengan kecepatan hingga 945 kilometer per jam dan mampu menjelajah hingga 6.437 kilometer, pesawat ini sudah cukup mampu mengalahkan DC-3. Sayangnya, B-47 Bomber adalah pesawat militer. Boeing harus memodifikasi atau merancang ulang pesawat bermesin jet agar memenuhi standar pesawat komersial.
Tujuh tahun berselang, tepatnya pada 1954, lahirlah 707, pesawat komersial bermesin jet pertama produksi Boeing. Meski sukses, Boeing sejatinya terlambat. Pada awal dekade 1950an, De Havilland, perusahaan pembuat pesawat asal Inggris merilis De Havilland Comet, pesawat komersial bermesin jet pertama. Namun kecelakaan yang menimpa de Havilland Comet pada 1954 membuat 707 punya nasib mujur.
Dalam tulisannya di Wired, Jason Paur mengatakan bahwa 707 mempopulerkan perjalanan dengan jet.
Boeing 707 melakukan terbang perdana pada 20 Desember 1957. Pesawat seberat 112,5 ribu kilogram itu mampu mengangkut 181 penumpang dengan daya jelajah sejauh 4.800 kilometer. 707 sukses merevolusi dunia kedirgantaraan komersial setelah merilis DC-3.
Sayangnya, meskipun sukses, Boeing 707 punya cela. Mengutip The Telegraph, 707 merupakan pesawat komersial yang paling sering kecelakaan. Dari 1956 hingga 2016, angka rata-rata kecelakaan 707 sebesar 4,28 di tiap 1.000 kecelakaan. Paling besar dibandingkan DC-8 (pesawat sejenis dari Douglas) dengan rata-rata sebesar 4, dan Airbus A310 dengan rata-rata sebesar 1,85.
737: Produk Paling Sukses Boeing
Sebagaimana dicatat The New York Times pada 17 Juli 1964, Boeing tengah menyiapkan pesawat yang ditujukan untuk penerbangan jarak pendek. Rencananya, pesawat itu akan berukuran setengah dari 727 dan didesain sebagai pesawat jarak menengah yang mampu mengangkut 191 penumpang dengan dua mesin jet. Konon, pesawat itu akan berbentuk mirip Douglas DC-9 dan British Aircraft Corporation BAC-111. Proyek Boeing ini dikepalai teknisi senior bernama John E. Steiner.
Pada 1965, Boeing akhirnya merilis pesawat berjuluk “Baby Boeing” yang bernama 737. Tepat pada 9 April 1967, 737 melakukan penerbangan perdana.
Oliver Smith, dalam tulisannya di The Telegraph mengatakan bahwa 737 merupakan yang produk Boeing paling laris. Hingga Maret 2018, lebih dari 10 ribu unit 737 terjual ke seluruh dunia. Ia sukses mengalahkan 727 (terjual 1.832 unit), dan si jumbo jet 747 (terjual 1.543 unit). Tapi meskipun sukses, 737 awalnya dianggap gagal. Pada awal tahun-tahun kelahirannya, hanya Lufthansa yang memborong pesawat ini. Tercatat, maskapai asal Jerman itu membeli 30 unit 737.
Smith bahkan mengatakan bahwa Boeing berencana menutup 737 dan melempar produksi pesawat itu ke pabrik asal Jepang. Namun, Angkatan Udara Amerika Serikat menyelamatkan pesawat ini. Mereka memesan 19 unit 737 untuk kebutuhan militer. Boeing pun bergairah kembali untuk memproduksi Baby Boeing.
Titik balik 737 sebagai yang paling laku terjadi pada dekade 1980-an. Kala itu, Boeing merilis varian baru, 737-300. Dengan bahan bakar yang lebih irit, tingkat kebisingan yang mampu diredam, dan kapasitas penumpang yang bertambah (hingga 149 penumpang), 737 menemukan hidupnya kembali. Pada 1985, 252 unit 737 dijual Boeing. Perlahan, 737 jadi produk yang paling menguntungkan, khususnya bagi maskapai yang memiliki rute-rute penerbangan berjarak pendek yang dapat ditempuh dalam kurang lebih 2 jam perjalanan.
Pada 2016, Boeing dinyatakan sebagai perusahaan pembuat pesawat berpendapatan $65 miliar—atau, yang terbesar di seluruh dunia.
Tony Firman. Petrik Mutanasi. Ahmad Zaenudin , dalam Tirto.