Memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan membela kebenaran menjadi idealisasi nilai-nilai kepahlawanan di mata mayoritas generasi milenial. Sisanya masih meyakini kepahlawanan itu identik dengan perjuangan kemerdekaan dan melawan musuh. Imajinasi kepahlawanan tidak (lagi) identik dengan aksi heroik mengangkat moncong senjata.
Gambaran ini terungkap dalam jajak pendapat Litbang Kompas di kalangan pelajar dan mahasiswa di 11 kota di Indonesia (Kompas, 5/11/2018).
Dengan potret ini, apakah generasi milenial melupakan kegigihan perlawanan para pemuda di Surabaya saat Sekutu membombardir kota itu pada 10 November 1945? Perang terbesar pertama pasca-Indonesia merdeka itu memakan ribuan korban jiwa. Apakah generasi hari ini akrab dengan sosok-sosok pahlawan periode awal kemerdekaan 1945-1949, seperti Jenderal Soedirman? Jiwa nasionalisme dan keislamannya tumbuh di Perguruan Wiworo Tomo yang dituduh pemerintah kolonial sebagai sekolah liar (Notosusanto dalam Abdullah dkk, 1988). Mengapa nasionalisme dan pengorbanan luar biasa para pejuang Republik tersebut tidak terekam baik oleh kesadaran sejarah generasi milienial?
Padahal, Benedict Anderson menyebut heroisme perang 10 November sebagai penjelmaan karakter gerakan pemuda Indonesia yang sangat mengesankan dan paling dikenang. Dalam pengamatan Anthony Reid, pendidikan militer Jepang pada masa pendudukan (1942-1945) telah ikut mewarnai karakter patriotisme para pemuda kala itu yang menekankan aspek pengorbanan, kepercayaan diri, dan kedisiplinan (McGregor, 2007: 120).
Apa yang bisa kita pahami dari survei Kompas, di antaranya memunculkan beberapa pertanyaan di atas, adalah persepsi dan penilaian sejarah di mata generasi milineal. Meminjam perspektif Taufik Abdullah (dalam Abdullah dkk, 1988), perjuangan para pahlawan mendapat penilaian yang tidak sama dalam kesadaran sejarah setiap generasi. Penilaian generasi milineal terhadap konsepsi pahlawan dan nilai-nilai kepahlawanan mencerminkan pantulan dari kecenderungan sosial-politis selepas kepergian para pahlawan.
Ketakpedulian dan buta sejarah
Mari kita tengok kesadaran sejarah milineal di ”Negeri Paman Sam” sebagai perbandingannya. Lembaga Victims of Communism and Memorial Fund (2017) menemukan satu dari lima orang milineal dengan rentang usia 21-29 tahun di Amerika (23 persen) menganggap Joseph Stalin, Vladimir Putin, dan Kim Jong Un sebagai pahlawan. Hampir separuhnya (44 persen) menggandrungi sosialisme dan komunisme. Namun, mereka tidak mengetahui konsepsi dan implikasi dari kedua sistem politik itu. Anomali ini disebabkan faktor ketidakpedulian (ignorance) dan kebutaan sejarah (history illiteracy). Kita bisa melihat, tingkat pendidikan tidak berkorelasi positif dengan tingkat literasi.
Becermin pada fenomena Amerika, kita patut memikirkan langkah-langkah bersama agar generasi muda Indonesia tidak diringkus oleh rasa ketidakpedulian sehingga mengalami kebutaan sejarah. Yang melegakan, sebagian besar kaum milineal Indonesia masih melihat para pejuang kemerdekaan sebagai sosok pahlawannya (49,3 persen). Imajinasi pejuang kemerdekaan sebagai pahlawan masih tertanam kuat meskipun ada pergeseran pemahaman atas nilai-nilai kepahlawanan. Tokoh-tokoh populer juga menjadi panutan (33,6 persen), di samping tokoh agama (9,6 persen) dan tokoh imajiner produksi industri (3,5 persen). Kurang dikenalinya nama-nama pahlawan nasional, termasuk teladan patriotismenya, perlu dicarikan terobosan dalam metode pembelajaran di lembaga pendidikan.
Menguatnya orientasi kesejahteraan rakyat dan pembelaan terhadap kebenaran dalam bingkai kepahlawanan mengisyaratkan kepedulian milenial terhadap persoalan mendasar hari ini. Semangatnya adalah mereka lebih mengutamakan hajat publik atas dasar prinsip keadilan yang mampu merekatkan solidaritas kebangsaan. Tantangan ketimpangan ekonomi dan ketidakpastian hukum membutuhkan aksi bersama berlandaskan semangat cinta Tanah Air. Kita tidak boleh membiarkan benih-benih sektarianisme golongan, fasisme kelompok, dan ekstremisme politik-keagamaan bersemi atas membela keadilan.
Dengan berkaca pada keberanian para pemuda Surabaya menurunkan dan merobek bendera Belanda di Hotel Yamato, 73 tahun silam, tanggung jawab generasi sekarang adalah menjaga kedaulatan Merah Putih serta berjuang menegakkannya dan berkibar setinggi mungkin di panggung dunia. Adalah ironis jika ada elemen bangsa ini yang memunggungi kedaulatan Merah Putih dan mencoba mengoyak ingatan kolektif atas imajinasi Indonesia sebagai bangsa majemuk.
Memori kedekatan Abdurrahman Awad Baswedan dan YB Mangunwijaya seperti diungkap harian ini (9/11/2018) penting terus dihidupkan sehingga menjadi teladan bagi generasi selanjutnya. Sejarah kegigihan perjuangan Mohammad Hatta tak terpisahkan dari perkawanannya dengan Arnold Mononutu.
Buya Syafii Maarif (2009) melukiskan persahabatan lintas ideologi itu dengan apik: ”Betapa seorang Natsir atau Prawoto Mangkusasmito begitu dekat dengan Ignatius Joseph Kasimo, Herman Johannes, Albert Mangaratus Tambunan, atau Johannes Leimena, baik pada masa revolusi kemerdekaan maupun sesudahnya. Atau antara Burhanuddin Harahap dan Ida Anak Agung Gde Agung yang Hindu. Kasimo bahkan bersama tokoh Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) mencoba melawan sistem politik otoritarian Soekarno pada era demokrasi terpimpin (1959-1966).”
Teladan para pejuang kemerdekaan adalah menepikan perbedaan latar belakang agama, ideologi, dan suku demi merebut kedaulatan negara dan mempersatukan bangsa-bangsa di Nusantara di bawah panji Pancasila. Tokoh-tokoh bangsa telah mempraktikkan embrio politik kewargaan tanpa harus melenyapkan identitas politik masing-masing. Ini merupakan warisan berharga.
Muda dan memajukan
Tantangan generasi milenial cukup pelik mengingat ada kecenderungan menguatnya primordialisme kelompok berbasis politik identitas seiring gelombang populisme global. Kita harus mewaspadai upaya-upaya untuk menyeret penyelesaian persoalan ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan hukum ke ranah politik identitas dengan mengedepankan sentimen golongan.
Salah satu cara melawan sekaligus mengadang kemungkinan munculnya tirani politik identitas adalah menyegarkan warisan persahabatan lintas agama dan ideologi dalam ingatan publik. Tanpa jiwa besar dan pengorbanan mereka, kita belum tentu bisa menyaksikan Indonesia merdeka bersendikan kebinekaan, dari Aceh hingga Papua.
Kasman Singodimejo, tokoh Muhammadiyah dan Jaksa Agung Indonesia periode 1945 – 1946, dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo karena kontribusi pentingnya dalam merumuskan dasar negara. Ia aktor penting di balik melunaknya sikap keras Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Umum Muhammadiyah 1942-1953) yang mempertahankan tujuh kata terkait syariat Islam dalam sila pertama Pancasila, yakni ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Keputusan politik yang mahakrusial ini menandai keberterimaan dan kesejajaran golongan Islam dengan kelompok lain dalam bingkai dasar negara. Kearifan bernegara ini tidak hanya penting untuk direkam oleh memori kolektif bangsa, tetapi juga ditransformasikan dalam proses memajukan Indonesia. Adalah sangat menggembirakan ketika generasi milenial menerjemahkan nilai-nilai kepahlawanan dalam kerangka perjuangan meningkatkan kesejahteraan, memerangi keterbelakangan, dan menegakkan keadilan. Senapas dengan ini, generasi muda yang mendedikasikan diri demi prestasi dan karya-karya yang mengharumkan nama bangsa merupakan pahlawan milenial; muda dan memajukan Indonesia.
Referensi:
Fajar Riza Ul Haq
Koran Kompas, 10 November 2018